Wednesday, January 7, 2009

Ang Swee Chai: Saya Ingin Dunia Tahu Kekejaman Israel


From Beirut to Jerusalem
Sebuah Kesaksian Kebiadaban Israel di Libanon & Palestina


Kekejaman yang dilakukan Israel terhadap Libanon dan Palestina tidak akan pernah berhenti sebelum Israel menguasai kedua wilayah tersebut dan gencatan senjata yang disepakati tidak akan mampu bertahan lama itu, hal itu pernah terjadi diawal agresi pertama pada tahun 1982. Hal tersebut dikatakan oleh penulis buku 'Tears of Heaven From Beirut to Jerusalem' DR. Ang Swee Chai dalam peluncuran bukunya di MP Book Point, Kawasan Cipete, Jakarta, Selasa (22/8).

“Perdamaian itu tidak akan terwujud tanpa adanya keadilan dan rasa kemanusiaan,” ujar dokter bedah yang mengabdikan dirinya sejak Perang Israel-Libanon meletus tahun 1982.

Menurut Ang, dirinya menjadi saksi korban-korban pembantaian yang dilakukan oleh Israel terhadap wanita dan anak-anak. Kondisi itu telah mengubah pandangannya yang semula mendukung Israel dan menganggap orang-orang Arab sebagai teroris, kini ia mendukung upaya kemanusiaan untuk menyelamatkan korban-korban kekejaman Israel yang pada umumnya adalah bangsa Arab.

Keberpihakan Ang pada masyarakat Palestina dan Libanon dibuktikannya dengan bergabung dalam perhimpunan Bulan Sabit Merah Palestina dan dengan beberapa rekannya, Ang membentuk Medical Aid for Palestine yang memberikan bantuan medis kepada rakyat Palestina baik di wilayah pengungsian maupun di wilayah pendudukan Israel.

“Saya tidak bisa melupakannya, pembantaian itu telah menjadi bagian dari hidup saya, karena itu saya berkeliling untuk menuturkan pengalaman saya kepada orang-orang, saya ingin dunia mengetahui kekejaman yang dilakukan oleh Israel,” tandasnya.

Ia mengungkapkan, hampir setiap hari korban yang harus ditangani secara cepat tak henti-hentinya berdatangan, bahkan sampai larut malam terutama pada saat kondisi genting.

Ang mengaku dedikasinya terhadap Palestina tidak akan pernah berhenti, apalagi saat ini sudah lebih banyak lembaga kemanusiaan dari berbagai negara yang mendukung perdamaian di Palestina dan Libanon, untuk itu dirinya berusaha minimal setahun sekali mengunjungi Palestina dan Libanon.(novel/eramuslim)


FROM BEIRUT TO JERUSALEM
SEBUAH KESAKSIAN TENTANG KEBIADABAN ISRAEL DI LEBANON DAN PALESTINA

Kamp pengungsi Sabra-Shatila. Aku sedang bertugas di kamp, baru tiba sebulan sebelumnya sebagai sukarelawan dokter bedah untuk merawat para korban selama serangan pasukan Israel di Lebanon.

Pembantaian anak-anak, wanita, orang tua dan orang-orang lemah tak bersenjata itu sungguh menyentakkanku. Aku merasa sangat gusar karena harus menemukan kebenaran tentang orang-orang yang berani dan murah hati, melalui kematian mereka. Hingga saat itu, aku tak pernah tahu bahwa para pengungsi Palestina itu ada. Sebagai seorang Kristen fundamentalis, dulu aku mendukung Israel, membenci orang-orang Arab, dan memandang PLO sebagai teroris yang harus dikutuk dan ditakuti.

Pengalamanku di Sabra-Shatila membuatku sadar bahwa orang Palestina juga manusia. Upaya pihak-pihak adikuasa yang berkonspirasi menjelek-jelekkan mereka, pupus sudah di mataku. Bagaimana mungkin mereka adalah orang jahat, jika mereka adalah korban ketidakadilan yang amat besar? Seperti orang-orang lain, aku harus menghadapi kenyataan pahit, aku harus bertobat; kebodohan dan prasangkaku telah membutakan mataku dari penderitaan bangsa Palestina.

Mereka yang selamat mendorongku untuk memberikan kesaksian di hadapan Komisi Penyelidikan Kahan bentukan pemerintah Israel. Dan, dalam perjalanan melintasi perbatasan Lebanon menuju Yerusalem, aku sadar sedang menempuh perjalanan yang diimpikan oleh para pengungsi Palestina. Tanpa disengaja, aku sedang melakukan ziarah ke tanah air mereka dan pulang ke rumah.

Lalu, pada masa Intifada yang pertama, aku bertugas di rumah sakit Al-Ahli di Gaza sebagai konsultan dokter bedah PBB dan telah merawat banyak dari mereka yang terluka. Bangunan rumah sakitku itu sering diserang dari udara oleh para tentara yang memburu para pemuda; bangsal-bangsal ibu-ibu hamil diserbu oleh tentara Israel yang bersenjata lengkap; suatu penghinaan terhadap ibu-ibu yang tengah melahirkan. Para pasien yang terbaring di meja-meja operasiku diancam. Seorang kru televisi BBC memfilmkan Kehidupan Di Bawah Pendudukan, menampilkan beberapa orang dari kami yang sedang bertugas di bawah kondisi-kondisi yang tak terperikan itu. Para juru rawat pria menghabiskan dua tahun di penjara menyusul perekaman film itu. Para tentara Israel itu membuat masa tugasku di Gaza menjadi tak tertahankan, dan perlu waktu bertahun-tahun sebelum aku dapat kembali.

(Dinukil dari buku Tears of Heaven: From Beirut to Jerusalem, karya Dr. Ang Swee Chai ,Mizan 2006.)

Siapakah Dr. Ang Swee Chai?


18 September 2002
Physician returns to Sabra and Shatila 20 years after bloody massacres
[Dokter Kembali ke Sabra dan Shatila, 20 Tahun Setelah Pembantaian Berdarah]
Reem Haddad

Liputan Khusus untuk The Daily Star



Untuk alasan yang bahkan ia sendiri tak dapat jelaskan, foto-foto rontgen itu masih tersimpan di flatnya di London. Kadang-kadang, ia mengeluarkannya dan melihat-lihatnya lagi. Salah satunya adalah foto rontgen anak 7 tahun yang ditembak 3 kali. Seluruh keluarganya dibunuh. Ia masih ingat nama anak itu: Mounir. Ada pula foto rontgen wanita korban pertama pembantaian yang datang meminta perawatan kepadanya pada hari di bulan September 1982 itu. Ia tertembak di sikunya. Sang dokter bertanya-tanya, apa yang terjadi dengan wanita itu setelah ia meninggalkan rumah sakit hari itu. Ia menduga, besar kemungkinan wanita itu sudah lama mati.

Dan sekarang, 20 tahun kemudian, sang dokter kembali menyusuri gang-gang di kamp pengungsian Sabra and Shatila. Penduduk kamp mengenal wanita ahli bedah ortopedis oriental yang mungil itu sebagai dr. Swee. Dunia lebih mengenalnya sebagai dr. Ang Swee Chai, penulis From Beirut to Jerusalem, yang merupakan kesaksiannya tentang pembantaian Sabra-Shatila. Sang dokter ada di Beirut bulan yang lalu selama seminggu untuk membantu BBC membuat laporan peringatan pembantaian itu. Program dokumenter itu berdasarkan pengalamannya di kamp, dan banyak penduduk masih mengenalinya,dan ia pun masih mengenali mereka. Seorang pria setengah baya terkaget-kaget saat mendadak distop sang dokter. Ah, rupanya kamu, sapanya kepada pria yang kebingungan itu. Kamu dulu anak muda tukang bikin onar. Ekspresi kekagetan pria itu berubah menjadi kegembiraan karena mengenali wanita itu. Dr. Swee! katanya. Sang dokter tersenyum. Ia tidak pernah lupa pasien-pasiennya. Bagaimana saya bisa melupakan Sabra dan Shatila? katanya. Saya ada di sana saat peristiwa itu terjadi.

Ironisnya, Ang, yang berasal dari Singapura tetapi sekarang tinggal di Inggris, tumbuh dengan mendukung Israel. Ia diberi tahu bahwa orang-orang Arab adalah teroris. Namun pada 1982, media Inggris menyiarkan pemboman membabi-buta Beirut oleh pesawat-pesawat Israel. Terguncang, pandangannya terhadap Israel mulai berubah. Saat itulah ia mendengar seruan internasional yang meminta sukarelawan dokter bedah ortopedis (tulang) untuk merawat korban perang di Beirut. Wanita mungil ini—tingginya hanya kurang dari 1,5 meter berhenti dari pekerjaannya di London, berpamitan kepada suaminya, dan berangkat menuju kancah perang sipil di Beirut. Begitu tiba di negeri itu, Ang bergabung dengan Palestinian Red Crescent Society (Perhimpunan Bulan Sabit Merah Palestina) dan ditugaskan di Rumah Sakit Gaza di kamp Sabra dan Shatila.

Kemudian, Ketua Palestinian Liberation Organization (PLO), Yasser Arafat, dan para pengikutnya harus dievakuasi dari negara itu. Sebuah gencatan senjata disepakati dan banyak penduduk kamp yang sebelumnya mengungsi, pulang ke kamp dan membangun kembali kehidupan mereka. Di mana-mana saya lihat anak kecil, wanita, dan orang tua memperbaiki rumah mereka, kenangnya. Ada atmosfer penuh harapan, karena mereka percaya setelah PLO pergi, Israel akan membiarkan warga Palestina hidup tenang. Saya juga mempercayainya. Atmosfer itu tidak bertahan lama. Tiga pekan kemudian, Presiden Lebanon yang baru saja terpilih, Bashir Gemayel, dibunuh.

Semua orang di kamp segera menjadi ketakutan, kata Ang. Mereka khawatir orang-orang Palestina akan disalahkan. Ketakutan mereka terbukti. Pagi hari berikutnya, 15 September, pesawat-pesawat Israel menyerbu kamp. Dari lantai atas RS Gaza, dr. Ang dapat melihat asap membubung dari berbagai tempat. Asap semakin lama semakin mendekat, katanya. Saat malam tiba, asap itu berjarak setengah kilometer di sekeliling kami. Saya dapat mendengar pemboman dari segala penjuru.

Kebanyakan pasien yang ia rawat pada hari itu terluka terkena pecahan bom. Namun, hari berikutnya, seorang wanita dibawa ke rumah sakit. Sikunya tertembak. Wanita itu keluar rumah untuk mengambil air untuk keluarganya, dan saat itulah ia ditembak. Wanita itu adalah korban pembantaian pertama dan foto rontgen wanita itu masih disimpan dr. Ang sampai sekarang. Sejak saat itu, terjadilah malapetaka, katanya.

Orang-orang yang dibawa ke rumah sakit tertembak di kepala, rahang, dada. Kebanyakan dari mereka sudah mati saat tiba di rumah sakit. Keadaan terus bertambah buruk. Para dokter berkutat dengan pasien-pasien di ruang-ruang operasi di basement, bekerja tanpa henti. Itu terus berlangsung sampai malam. Kamar mayat sudah tak mampu menampung jenazah korban.

Sampai saat itu pun, Ang dan tim dokter belum menyadari bahwa ada pembantaian sedang berlangsung. Saya hanya bertanya-tanya, Mengapa orang-orang ini berkeliaran di jalan-jalan? katanya. Saat itu, saya juga merawat bayi-bayi dan orang lanjut usia. Saya biasa membeli kopi dari orang-orang tua itu. Saya benar-benar tidak paham. Barulah kemudian ia diberi tahu bahwa milisi Kristen (saat itu sejumlah milisi Kristen adalah sekutu Israel) memasuki rumah-rumah dan membunuhi penghuninya. Sementara itu, rumah sakit kehabisan persediaan darah, makanan, dan obat-obatan. Hari berikutnya, orang-orang bersenjata memasuki rumah sakit dan memerintahkan semua orang yang memegang paspor luar negeri untuk meninggalkan tempat itu. Dipaksa meninggalkan tempat itu, para dokter digiring melalui kamp. Pemandangan saat itu masih terus menghantuinya sampai sekarang. Ada banyak orang dikumpulkan, pria, wanita, dan anak-anak yang memandang kami dengan mata penuh ketakutan, kenangnya. Mayat ada di mana-mana. Saya tersandung sesosok mayat. Dalam kengerian, ia lihat mata mayat itu telah dicungkil.

Buldoser-buldoser menghancurkan rumah-rumah rumah-rumah yang baru 3 hari yang lalu ia kunjungi untuk minum kopi bersama penghuninya. Seorang wanita berlari ke arah Ang dan menyerahkan bayinya. Milisi menodongkan senapan mereka. Wanita itu mengambil kembali bayinya. Setelah pembantaian, Ang menjelajahi kamp untuk mencari wanita dan bayinya itu. Ia tidak bisa menemukan mereka. Saya tahu mereka sudah dibunuh, katanya. Ang kemudian bersaksi di depan Komisi Kahan yang menyelidiki pembantaian itu. Komisi itu memutuskan bahwa Menteri Pertahanan Ariel Sharon (yang di kemudian hari menjadi Perdana Menteri) bertanggung jawab secara personal atas pembantaian itu dan dipaksa mundur dari jabatannya pada 1983.

Sang dokter pulang ke London, tetapi tidak bisa hidup tenang. Saya tidak bisa melupakannya, katanya. Pembantaian itu telah menjadi bagian dari hidup saya. Ia berkeliling untuk menuturkan pengalamannya kepada orang-orang. Saya ingin dunia mengetahui pembantaian itu, katanya. Saya butuh melakukannya. Saya bertanggung jawab melindungi pasien saya. tetapi saya tidak mampu. Sebagai dokter, saya telah gagal.

Pada 1984, Ang dan beberapa pekerja medis membentuk badan amal untuk membantu warga Palestina. Mereka menamakannya MAP, Medical Aid for Palestine. Mereka bertujuan membangun kembali rumah sakit-rumah sakit Palestina dan menyediakan suplai obat-obatan. Setelah dimulainya Intifada, Ang mengalihkan perhatiannya untuk membantu warga Palestina di Gaza dan Tepi Barat. Dua tahun kemudian, ia menerbitkan bukunya, From Beirut to Jerusalem. Buku itu segera meraih sukses, ribuan kopi terjual. Setahun kemudian, terbit sebuah buku dengan judul yang sama, tetapi dari penulis lain. Buku itu menyebabkan calon pembaca bingung. Penjualan buku Ang pun menurun. Saya bisa saja menuntut, tetapi saya tidak ingin melakukannya, katanya. Lebih baik saya menggunakan uang dan tenaga saya untuk membantu para pengungsi. Mereka membutuhkan orang-orang yang memperjuangkan nasib mereka.

Sumber: The Daily Star dan swaramuslim



No comments:

Post a Comment

komentar silahkan disini