Wednesday, September 1, 2021

Fenomena Alam













Bintang yang Mengetuk








Pada tahun 2016 ada berita viral tentang seorang astronot China yang  bernama Yang  Liwei mengalami kejadian misterius, ketika ia sedang berada dalam pesawat ruang angkasa. Yang Liwei mendengar suara ketukan misterius berkali-kali , seolah ketukan itu berada dibadan pesawat (coba lihat videonya guys!). Ketika itu Yang Liwei hanya seorang diri di dalam pesawat, siapa yang ngga serem coba. Sebetulnya peristiwa  dia alami sudah terjadi di tahun 2003,  ketika astronot  China pertama itu dikirim untuk perjalanan perdana  selama 21 jam mengorbit mengelilingi Bumi,tapi dia baru  menceritakannya belakangan, mungkin agak takut atau khawatir dibilang mengada-ada

kali ya...(Coba Anda telusuri analisa para ahli di sono, analisa diyoutube). Coba baca deh ceritanya, yang dimuat di liputan 6 :

"Situasi yang aneh yang aku alami selama berada di angkasa luar, adalah ketukan misterius itu,"kata Yang Liwei.

"Suara itu tak berasa dari dalam atau luar pesawat, tapi seperti seseorang mengetuk badan kapal angkasa luar dengan martil," lanjutnya.

Yang mengungkapkan ia sangat gugup dan merinding mendengar suara itu. Dan kala itu, ia memilih untuk berada di tengah ruang kendali untuk mencari sebabnya. Sayangnya, ia tak bisa menemukan sesuatu yang ganjil. Ketika kembali ke Bumi ia menceritakan kisahnya kepada pihak pemerintah. Namun, ia ditenangkan bahwa ada kemungkinan hal-hal ganjil yang sulit dijelaskan akan terjadi di angkasa luar. Termasuk suara misterius yang mungkin saja bisa terjadi."Rekan sesudah aku yang juga terbang ke angkasa luar memiliki pengalaman yang sama, namun ada juga yang tidak..."

 Menjadi pertanyaan di benak kita, koq bisa ya suara ketukan itu terdengar oleh Yang Liwei, bukankah secara fisika gelombang suara membutuhkan sumber suara dan medium. Kalau kejadiannya masih di bumi, ya ngga masalah, karena semua gelombang suara dihantarkan melalui udara dari sumber suara hingga sampai ke telinga. Lha ini suaranya keras begitu, sumbernya dari mana ? Ini namanya baru misteri, dan menjadi misteri yang baru. Atau jangan-jangan astronot china ini dalam keadaan tertekan sehingga muncul suara-suara halusinasi.

 Masalahnya, astronot lain juga ada yang mengalami kejadian misterius ini. 

Baiklah, dari segi keilmuan sains, Anda jangan antipati dulu. Ada frame of reference lain, yang sangat dipercaya tentang misteri ini. Perhatikan cuplikan ungkapan indah berikut : 

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Artinya: “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.”


وَالسَّمَاۤءِ وَالطَّارِقِۙ - ١
Was samaa-i wath thaariq.

Artinya: “Demi langit dan yang datang pada malam hari."

وَمَآ اَدْرٰىكَ مَا الطَّارِقُۙ - ٢  

Wa maa ad-raaka math thaariq.

Artinya: “Dan tahukah kamu apakah yang datang pada malam hari itu?"

النَّجْمُ الثَّاقِبُۙ - ٣
An najmuts tsaaqib.
Artinya: “(Yaitu) bintang yang bersinar tajam,"......

Ternyata itu adalah surat At thaariq, yang menjelaskan tentang bintang yang mengetuk, suaranya mirip suara ketukan pintu. Dalam bahasa Arab Thariq dapat diartikan mengetuk, atau suara keras seperti orang membanting pintu. Kemungkinan lain bintang ini mengeluarkan sinar yang sangat tajam, seperti kata- kata dalam surat At Thariq. Para ilmuwan menyebutnya dengan bintang pulsar.  Terlepas benar atau tidak tentang pendapat para ahli bahwa itu adalah fenomena alam jagat raya yang mungkin saja terjadi, namun sudah ada bukti valid,bahwa di jagat raya ini ada yang namanya bintang At Thariq yang mengeluarkan suara ketukan seperti yang didengar oleh astronot Yang Liwei, bintang yang bersinar tajam. Fenomena ini sudah diberitakan oleh Nabi Muhammad SAW,  seperti ia pernah mengatakan bahwa bulan di belah menjadi dua pada suatu malam,fenomena bulan terbelah ini juga sudah dibuktikan oleh para astronot bahwa struktur bulan pernah mengalami pembelahan. Ini semua fenomena alam yang nyata.

Thursday, May 7, 2009

"Singing" Electrons Protect and Threaten Your TV and GPS

Electrons – the particles that carry electricity – can both protect and disrupt your satellite TV or GPS navigator with a "song" they make while being flung toward Earth in a giant magnetic slingshot.

Scientists using NASA's fleet of THEMIS spacecraft have discovered how radio waves produced by electrons injected into Earth’s near-space environment both generate and remove high-speed "killer" electrons.
Killer electrons are born within Earth's natural radiation belts, called the Van Allen belts after their discoverer, James Van Allen. If the Van Allen radiation belts were visible from space, they would resemble a pair of donuts around Earth, one inside the other, with our planet in the hole of the innermost. Killer electrons are mostly found in the outer belt, which over the equator begins approximately 8,000 miles above Earth and tapers off about 28,000 miles high. Although the outer belt is strongest around 16,000 to 20,000 miles up, it is highly variable, especially during solar storms, and an intense population of killer electrons can occur anywhere in the outer belt zone.

The high-speed electrons pose a threat to satellites in or near the outer belt -- those in medium-level and higher (geosynchronous) orbits -- like the Global Positioning System and most communications satellites. They are known as "killer" electrons because they can penetrate a spacecraft's sensitive electronics and cause short circuits.

"This discovery is important to understand the physical processes that shape the radiation belts, so that one day we will be able to predict the moment-by-moment evolution of the radiation belts and be in a position to safeguard satellites in these regions, or astronauts passing through them on the way to the moon or other destinations in the solar system," said Dr. Jacob Bortnik of the University of California, Los Angeles, lead author of a paper on this research appearing May 8 in Science.
Electrons are subatomic particles that carry negative electric charge, and we harness their flow every day as electricity. Electrons are also present in space in a gas of electrically charged particles called plasma, which is constantly blown from the surface of the sun as the solar wind. The solar wind can become particularly dense and gusty during solar storms, which are produced by explosive events on the sun like coronal mass ejections, billion-ton eruptions of solar plasma moving at millions of miles per hour.When this plasma interacts with Earth's magnetic field, some of it is shot toward Earth. As the solar wind plasma flows over Earth's magnetic field, it stretches the night-side magnetic field into a long "tail" which, when pulled too far, snaps back toward Earth. The magnetic field over Earth's night side acts like a slingshot, propelling blobs of plasma toward Earth. When this happens, electrons in the plasma blobs release extra energy gained from the slingshot by "singing" – they generate a discrete type of organized radio wave called "chorus," which sounds like birds singing when played through an audio converter.

Scientists previously discovered that electrons in the outer radiation belt can extract energy from these chorus waves to reach near-light speed and become killer electrons. The new research, confirmed by the team's THEMIS (Time History of Events and Macroscale Interactions during Substorms) observations, is that the chorus waves can be refracted into the inner portion of the radiation belts by dense plasma near Earth and bounce around from hemisphere to hemisphere within the radiation belts. When this happens, the chorus waves become disorganized and evolve into another type of radio wave called "hiss," according to the team.

Hiss waves, named for the sound they make when played through a speaker, are of interest to space weather forecasters because earlier research showed they can clear killer electrons from lower altitudes of the outer radiation belt. Hiss deflects the speedy particles into Earth's upper atmosphere, where they lose energy and are absorbed when they hit atoms and molecules there. Despite its important role, it was not clear how hiss was generated.

"It is not immediately obvious that these two waves are related, but we had a fortuitous observation where the THEMIS spacecraft were lined up just right to make the connection," said Bortnik. "First we observed chorus on the THEMIS "E" spacecraft, then a few seconds later, we observed hiss on the THEMIS "D" spacecraft, about 20,000 kilometers (almost 12,500 miles) away, with the same modulation pattern as the chorus."

"Last year, we published a Nature paper that put forward a theory that seemed to explain just about everything we knew about hiss," adds Bortnik. "We showed theoretically how chorus could propagate from a distant region, and essentially evolve into hiss. We reproduced statistical information about hiss, and a few case-examples published in the literature seemed to agree with what we were predicting. The only problem was that it seemed really difficult to verify the theory directly -- to have a satellite in the (distant) chorus source region, to have another satellite in the hiss region, to have both satellites recording in high-resolution simultaneously, for the waves to be active and present at the same time, and for the satellites to be in the right relative configuration to each other to make the measurement possible. That's where THEMIS came in. It has the right set of instruments, and the right configuration at certain parts of its orbit."

According to the team, it's possible other mechanisms could contribute to the generation of hiss as well. "Lightning could certainly contribute, and so could 'in situ' growth – the high-speed particles in the belts could generate hiss with their own motion. However, it's just a question of which mechanism is dominant, and each might dominate at different times and locations. More research is needed to determine this," said Bortnik.

The research was funded by NASA Heliophysics theory grant NNX08135G. The team includes Jacob Bortnik, Wen Li, Richard Thorne, and Vassilis Angelopoulos of the University of California in Los Angeles, Chris Cully of the Swedish Institute of Space Physics, John Bonnell of the University of California in Berkeley, and Olivier Le Contel and Alain Roux of the Centre d'Etude des Environnements Terrestre et Planétaires.



Bill Steigerwald
NASA Goddard Space Flight Center


Sunday, May 3, 2009

Can you catch the flu from handling money?

FLU BABI BISA MENULAR LEWAT UANG?

Yes. “Human influenza viruses can survive and maintain their infectiousness for several days when they are deposited on banknotes,” according to a 2008 study by Yves Thomas and his colleagues at the Central Laboratory for Virology in Geneva, Switzerland.
Scientists spotted different types of flu virus onto Swiss francs and found that they survived from a few hours (naked virus) to more than a week (virus mixed with respiratory mucus).
The results depended on the type and concentration of flu virus.
According to the study, Swiss banknotes are mostly cotton covered by a nonporous resin. Bills from other countries may be composed of different materials, and this could affect viral transmission. “Whether similar results would be obtained with banknotes from other countries and with different characteristics needs to be studied,” the authors wrote.
In an interview with Reuters, Thomas said, “Our studies have convinced us that it is possible to catch flu from banknotes, but the chances are very, very slim and there is no cause for concern among the general population.”
Smart Money had this to say in a recent story:
To be sure, many kinds of frequently touched surfaces could temporarily harbor the flu virus. Broadly speaking, scientists consider the risk of transmission in this way to be low, particularly if hand-washing and other hygiene measures are practiced, says Dr. Philip Tierno, director of clinical microbiology and immunology at New York University’s Langone Medical Center and author of “The Secret Life of Germs.”
Three things must happen for a flu virus to be transmitted from one person to another via money. First, a person who is infected with the swine flu must sneeze or cough onto the bill or blow their nose and leave remnants of their mucus on the currency. Next, an uninfected person would need to touch the money while the virus is still present.
Finally, that person would need to put their contaminated hand in their mouth or pick their nose, says Dr. Murray Grossan, an otolaryngologist at Cedars-Sinai Medical Center in Los Angeles.
The best defense against infection: follow public health guidelines and wash your hands frequently.
Source: “Survival of Influenza Virus on Banknotes” by Yves Thomas, Guido Vogel, Werner Wunderli, Patricia Suter, Mark Witschi, Daniel Koch, Caroline Tapparel and Laurent Kaiser, published in Applied and Environmental Microbiology, May 2008.

Saturday, April 18, 2009

Mengatasi stress Ujian Nasional

Click to get cool Animations for your MySpace profile
Emang enak menghadapi UN yang semakin dekat? deg deg khan lagi...udah gitu yang namanya tulisan " UJIAN NASIONAL .....HARI LAGI" ditulis besar2 di papan pengumuman kelas, dan setiap hari diganti angkanya sampai mendekati hari H nya. Payah banget! siapa suruh nulis yang begitu. Seharusnya langkah2 yang lebih enak, bisa kamu lakukan, pelan2 ikuti petunjuk ini :
1. Ngga usah pusing dengan segudang materi UN, cukup buat peta konsep setiap materi di kertas2 bekas,kertas2 kecil,kertas2 kotretan,simpan disaku kamu supaya mudah diambil dan dilihat...untuk dibaca,kalo perlu dihafalkan,bisa diambil kapan saja- kecuali jangan disentuh ketika UN berlangsung.
2. Perbanyak refreshing, dengan cara banyak banyak berolahraga, sekedar mengobrol dengan adik,kakak,ortu,teman,...perbanyak bermain sambil banyak berdoa,banyak beribadah shalat,tahajud,bersenang-senang,bercanda , santai,rileks, ngga usah mikirin UN terus menerus.
3. Berpikir positif, jangan sekali2 mengatakan "AKU GAGAL", lebih sering menanamkan pada perasaan dengan kata2 "AKU BISA dan AKU SUKSES, INSYA ALLAH AKU LULUS UN"
4. Hadapi omelan orang2 yg mengatakan kamu malas belajar -dengan senyuman,Click to get cool Animations for your MySpace profile



Wednesday, March 25, 2009

5 dampak mematikan dari pemanasan global


Hari ini terasa agak aneh, cuaca pagi sangat cerah, lalu di terik matahari turun hujan, agak sore-an sedikit...muncul petir bertubi-tubi di atas langit kota, menjelang magrib...hujan sangat derassss!!! Artinya cuaca mudah sekali berubah, padahal sebelumnya kejadian seperti ini sangat jarang terjadi, namun di bulan maret- yang seharusnya memasuki musim kemarau- cuaca masih diselimuti hujan juga. Ada yang berubah dengan iklim di sekitar kita.
Tahu ngga? Efek dari rumah kaca akan terus berlanjut hingga ribuan tahun, pemanasan global jelas menimbulkan efek pada Bumi. Berikut ini adalah 5 dampak pemanasan global yang mematikan :
1. Meleburnya es di kutub.
Coba tebak, apa akibatnya kalau es di kutub Bumi melebur ?
Pertama, keadaan tsb akan menaikkan permukaan laut. Terdapat 5773000 mil kubik air di kutub, glaciers, dan salju permanen. Menurut National Snow dan Ice Data Center, jika semua glaciers melebur ,tinggi air laut akan meningkat sekitar 230 kaki. Untungnya, hal tersebut tidak akan terjadi secara sekaligus! Tetapi permukaan laut tetap akan meningkat.

Kedua, dengan meleburnya es di kutub keseimbangan ekosistem global akan berubah. Air kutub adalah air tawar, dan air ini akan mencairkan garam laut, atau di dataran Inggris - membuat garam menjadi kurang asin. Proses desalinasi ini akan "menutup" arus laut yang berasal dari Teluk. Akan terjadi ketidakaturan aliran atau shutdown cool di daerah sekitar timur laut Amerika dan Eropa Barat. Untungnya, ada beberapa efek lain yang menjadi lebih lambat.

Ketiga, suhu akan meningkat dan mengubah lanskap di sekitar lingkaran artic dan akan membahayakan beberapa jenis binatang. Hanya yang paling bisa beradaptasi yang akan bertahan.
Keempat, pemanasan global akan semakin bertambah dengan menghilangnya es di kutub. Es kutub tampak terlihat putih, dan memantulkan sinar matahari, hasil pemantulannya banyak yang terpantul kembali ke bumi, akibatnya pendinginan Bumi akan terjadi lebih lanjut. Jika es kutub mencair, satu-satunya yang memantulkan cahaya adalah laut. Sementara kita mengetahui warna gelap dari laut akan menyerap sinar matahari, pemanasan Bumi akan terus berlanjut .

2. Akibat  Ekonomi

Sebagian besar dari efek pemanasan global secara anthropogenic tidak akan baik. Efeknya akan terasa pada suatu negara di dunia manapun yaitu : konsekuensi ekonomi. Artinya pemanasan global akan menimbulkan badai besar yang merusak hingga menimbulkan kerugian milyaran dolar, badai juga menyebabkan kerusakan,menimbulkan banjir,  menimbulkan penyakit, menimbulkan konflik sosial, sehingga perekonomian negara menjadi kacau.



3. Peningkatan intensitas kekeringan dan kemungkinan  gelombang panas.
Meskipun beberapa daerah di Bumi akan menjadi lebih kering  akibat pemanasan global, daerah lain akan menderita serius kekeringan dan gelombang panas. Afrika akan menerima akibat terburuk dari pemanasan global ini, kekeringan juga akan terjadi  di Eropa. Air sudah menjadi komoditas langka yang amat membahayakan  di Afrika, dan menurut Intergovernmental Panel tentang Perubahan Iklim dan  pemanasan global - akan memperuncing keadaan dan dapat mengakibatkan konflik dan perang.




4. Air menjadi  hangat dan badai semakin banyak.
Karena suhu lautan meningkat, sehingga kemungkinan akan lebih sering terjadi badai dengan kekuatan yang juga meningkat. Kondisi  ini terlihat  sejak tahun 2004 dan 2005.




5. Penyebaran penyakit
Akibat negara-negara di utara bumi menjadi lebih hangat, ini menarik serangga yang menyebarkan penyakit  untuk bermigrasi ke utara , tentu saja wabah penyakitnya juga berpindah ke utara. Berkat  pemanasan global - penyakit malaria akan sulit diberantas.