Sunday, May 3, 2009

Can you catch the flu from handling money?

FLU BABI BISA MENULAR LEWAT UANG?

Yes. “Human influenza viruses can survive and maintain their infectiousness for several days when they are deposited on banknotes,” according to a 2008 study by Yves Thomas and his colleagues at the Central Laboratory for Virology in Geneva, Switzerland.
Scientists spotted different types of flu virus onto Swiss francs and found that they survived from a few hours (naked virus) to more than a week (virus mixed with respiratory mucus).
The results depended on the type and concentration of flu virus.
According to the study, Swiss banknotes are mostly cotton covered by a nonporous resin. Bills from other countries may be composed of different materials, and this could affect viral transmission. “Whether similar results would be obtained with banknotes from other countries and with different characteristics needs to be studied,” the authors wrote.
In an interview with Reuters, Thomas said, “Our studies have convinced us that it is possible to catch flu from banknotes, but the chances are very, very slim and there is no cause for concern among the general population.”
Smart Money had this to say in a recent story:
To be sure, many kinds of frequently touched surfaces could temporarily harbor the flu virus. Broadly speaking, scientists consider the risk of transmission in this way to be low, particularly if hand-washing and other hygiene measures are practiced, says Dr. Philip Tierno, director of clinical microbiology and immunology at New York University’s Langone Medical Center and author of “The Secret Life of Germs.”
Three things must happen for a flu virus to be transmitted from one person to another via money. First, a person who is infected with the swine flu must sneeze or cough onto the bill or blow their nose and leave remnants of their mucus on the currency. Next, an uninfected person would need to touch the money while the virus is still present.
Finally, that person would need to put their contaminated hand in their mouth or pick their nose, says Dr. Murray Grossan, an otolaryngologist at Cedars-Sinai Medical Center in Los Angeles.
The best defense against infection: follow public health guidelines and wash your hands frequently.
Source: “Survival of Influenza Virus on Banknotes” by Yves Thomas, Guido Vogel, Werner Wunderli, Patricia Suter, Mark Witschi, Daniel Koch, Caroline Tapparel and Laurent Kaiser, published in Applied and Environmental Microbiology, May 2008.

Saturday, April 18, 2009

Mengatasi stress Ujian Nasional

Click to get cool Animations for your MySpace profile
Emang enak menghadapi UN yang semakin dekat? deg deg khan lagi...udah gitu yang namanya tulisan " UJIAN NASIONAL .....HARI LAGI" ditulis besar2 di papan pengumuman kelas, dan setiap hari diganti angkanya sampai mendekati hari H nya. Payah banget! siapa suruh nulis yang begitu. Seharusnya langkah2 yang lebih enak, bisa kamu lakukan, pelan2 ikuti petunjuk ini :
1. Ngga usah pusing dengan segudang materi UN, cukup buat peta konsep setiap materi di kertas2 bekas,kertas2 kecil,kertas2 kotretan,simpan disaku kamu supaya mudah diambil dan dilihat...untuk dibaca,kalo perlu dihafalkan,bisa diambil kapan saja- kecuali jangan disentuh ketika UN berlangsung.
2. Perbanyak refreshing, dengan cara banyak banyak berolahraga, sekedar mengobrol dengan adik,kakak,ortu,teman,...perbanyak bermain sambil banyak berdoa,banyak beribadah shalat,tahajud,bersenang-senang,bercanda , santai,rileks, ngga usah mikirin UN terus menerus.
3. Berpikir positif, jangan sekali2 mengatakan "AKU GAGAL", lebih sering menanamkan pada perasaan dengan kata2 "AKU BISA dan AKU SUKSES, INSYA ALLAH AKU LULUS UN"
4. Hadapi omelan orang2 yg mengatakan kamu malas belajar -dengan senyuman,Click to get cool Animations for your MySpace profile



Wednesday, March 25, 2009

5 dampak mematikan dari pemanasan global


Hari ini terasa agak aneh, cuaca pagi sangat cerah, lalu di terik matahari turun hujan, agak sore-an sedikit...muncul petir bertubi-tubi di atas langit kota, menjelang magrib...hujan sangat derassss!!! Artinya cuaca mudah sekali berubah, padahal sebelumnya kejadian seperti ini sangat jarang terjadi, namun di bulan maret- yang seharusnya memasuki musim kemarau- cuaca masih diselimuti hujan juga. Ada yang berubah dengan iklim di sekitar kita.
Tahu ngga? Efek dari rumah kaca akan terus berlanjut hingga ribuan tahun, pemanasan global jelas menimbulkan efek pada Bumi. Berikut ini adalah 5 dampak pemanasan global yang mematikan :
1. Meleburnya es di kutub.
Coba tebak, apa akibatnya kalau es di kutub Bumi melebur ?
Pertama, keadaan tsb akan menaikkan permukaan laut. Terdapat 5773000 mil kubik air di kutub, glaciers, dan salju permanen. Menurut National Snow dan Ice Data Center, jika semua glaciers melebur ,tinggi air laut akan meningkat sekitar 230 kaki. Untungnya, hal tersebut tidak akan terjadi secara sekaligus! Tetapi permukaan laut tetap akan meningkat.

Kedua, dengan meleburnya es di kutub keseimbangan ekosistem global akan berubah. Air kutub adalah air tawar, dan air ini akan mencairkan garam laut, atau di dataran Inggris - membuat garam menjadi kurang asin. Proses desalinasi ini akan "menutup" arus laut yang berasal dari Teluk. Akan terjadi ketidakaturan aliran atau shutdown cool di daerah sekitar timur laut Amerika dan Eropa Barat. Untungnya, ada beberapa efek lain yang menjadi lebih lambat.

Ketiga, suhu akan meningkat dan mengubah lanskap di sekitar lingkaran artic dan akan membahayakan beberapa jenis binatang. Hanya yang paling bisa beradaptasi yang akan bertahan.
Keempat, pemanasan global akan semakin bertambah dengan menghilangnya es di kutub. Es kutub tampak terlihat putih, dan memantulkan sinar matahari, hasil pemantulannya banyak yang terpantul kembali ke bumi, akibatnya pendinginan Bumi akan terjadi lebih lanjut. Jika es kutub mencair, satu-satunya yang memantulkan cahaya adalah laut. Sementara kita mengetahui warna gelap dari laut akan menyerap sinar matahari, pemanasan Bumi akan terus berlanjut .

2. Akibat  Ekonomi

Sebagian besar dari efek pemanasan global secara anthropogenic tidak akan baik. Efeknya akan terasa pada suatu negara di dunia manapun yaitu : konsekuensi ekonomi. Artinya pemanasan global akan menimbulkan badai besar yang merusak hingga menimbulkan kerugian milyaran dolar, badai juga menyebabkan kerusakan,menimbulkan banjir,  menimbulkan penyakit, menimbulkan konflik sosial, sehingga perekonomian negara menjadi kacau.



3. Peningkatan intensitas kekeringan dan kemungkinan  gelombang panas.
Meskipun beberapa daerah di Bumi akan menjadi lebih kering  akibat pemanasan global, daerah lain akan menderita serius kekeringan dan gelombang panas. Afrika akan menerima akibat terburuk dari pemanasan global ini, kekeringan juga akan terjadi  di Eropa. Air sudah menjadi komoditas langka yang amat membahayakan  di Afrika, dan menurut Intergovernmental Panel tentang Perubahan Iklim dan  pemanasan global - akan memperuncing keadaan dan dapat mengakibatkan konflik dan perang.




4. Air menjadi  hangat dan badai semakin banyak.
Karena suhu lautan meningkat, sehingga kemungkinan akan lebih sering terjadi badai dengan kekuatan yang juga meningkat. Kondisi  ini terlihat  sejak tahun 2004 dan 2005.




5. Penyebaran penyakit
Akibat negara-negara di utara bumi menjadi lebih hangat, ini menarik serangga yang menyebarkan penyakit  untuk bermigrasi ke utara , tentu saja wabah penyakitnya juga berpindah ke utara. Berkat  pemanasan global - penyakit malaria akan sulit diberantas.


Monday, March 16, 2009

Nano-treatment to torpedo cancer

Teknologi nano ternyata bisa menghancurkan sel kanker dengan target yang lumayan tinggi terhadap gen-gen tumor payu dara.
Secara teknis, tekonologi nano dilakukan - dengan meninggalkan sel-sel yang sehat tetap tidak berubah, sehingga berpotensi menawarkan harapan kepada orang-orang yang berjuang keras melawan penyakit kanker sementara operasi tidak mungkin dilakukan.
Teknologi ini sudah diuji cobakan kepada tikus, diharapkan dalam waktu 2 tahun akan diterapkan ke manusia.Lalu prosesnya gimana?
Ternyata gen yang telah dibungkus oleh partikel mikroskopis-nano, yang dirusak oleh sel kanker, so pasti akan memiliki sel-sel yang tidak sehat di sekitarnya. Sementara itu gen-gen tadi distimulasi untuk menghasilkan protein yang akan merusak sel kanker, bila gen-gen ini masuk ke sel-sel kanker, otomatis sel kanker akan rusak.
Para peneliti mengatakan bahwa teknologi ini bisa berpotensi menjadi relevan terutama untuk penderita kanker yang yg tidak dapat dibedah karena kankernya dekat dengan organ vital.
Mereka berharap mudah-mudahan cara ini juga digunakan untuk merawat kanker yang telah menyebar.

Cara yang menakjubkan.
Pimpinan riset Dr Andreas Schatzlein, dari Sekolah Farmasi di London, mengatakan: "Terapi gen ini memiliki potensi yang besar untuk menciptakan rasa aman dan sangat efektif untuk perawatan kanker ,tetapi tetap saja sel kanker menjadi salah satu tantangan besar di daerah ini.
"This is the first time that nanoparticles have been shown to target tumours in such a selective way, and this is an exciting step forward in the field. "Ini pertama kalinya partikel nano menunjukkan hasil yang sangat selektif untuk membunuh sel kanker , secara kontekstual ini merupakan hal yang baru.
"Setelah di dalam sel, sel-sel yang ditutupi dalam partikel gen akan menjadi aktif disekitar sel kanker dan sekitarnya . Partikel tsb menghasilkan racun, tetapi hanya berpengaruh ke sel-sel yang merusak, sedangkan jaringan yang sehat tidak terpengaruh.
"Kami berharap terapi ini akan digunakan untuk merawat pasien kanker dalam uji coba klinis dalam beberapa tahun."
Kemoterapi tradisionil membunuh sel-sel tubuh di daerah yang terkena dampak dari kanker, yang dapat menimbulkan efek samping seperti kelelahan, rambut rontok atau rasa mual.
Dengan terapi gen ini diharapkan efek samping tersebut akan berkurang.

Dr Lesley Walker, dari badan amal Penelitian Kanker Inggris, berkata: "Hasil penelitian ini sangat membesarkan hati, dan kami berharap suatu saat metode ini dapat digunakan untuk mengobati kanker di masyarakat.
"Terapi gen ini merupakan penelitian yang sangat menarik , namun menargetkan perubahan genetik pada sel-sel kanker sungguh menjadi tantangan utama.
"Ini pertama kalinya usulan solusi yang sangat menarik."

The UK study is published online by the journal Cancer Research. .

Wednesday, January 7, 2009

Ang Swee Chai: Saya Ingin Dunia Tahu Kekejaman Israel


From Beirut to Jerusalem
Sebuah Kesaksian Kebiadaban Israel di Libanon & Palestina


Kekejaman yang dilakukan Israel terhadap Libanon dan Palestina tidak akan pernah berhenti sebelum Israel menguasai kedua wilayah tersebut dan gencatan senjata yang disepakati tidak akan mampu bertahan lama itu, hal itu pernah terjadi diawal agresi pertama pada tahun 1982. Hal tersebut dikatakan oleh penulis buku 'Tears of Heaven From Beirut to Jerusalem' DR. Ang Swee Chai dalam peluncuran bukunya di MP Book Point, Kawasan Cipete, Jakarta, Selasa (22/8).

“Perdamaian itu tidak akan terwujud tanpa adanya keadilan dan rasa kemanusiaan,” ujar dokter bedah yang mengabdikan dirinya sejak Perang Israel-Libanon meletus tahun 1982.

Menurut Ang, dirinya menjadi saksi korban-korban pembantaian yang dilakukan oleh Israel terhadap wanita dan anak-anak. Kondisi itu telah mengubah pandangannya yang semula mendukung Israel dan menganggap orang-orang Arab sebagai teroris, kini ia mendukung upaya kemanusiaan untuk menyelamatkan korban-korban kekejaman Israel yang pada umumnya adalah bangsa Arab.

Keberpihakan Ang pada masyarakat Palestina dan Libanon dibuktikannya dengan bergabung dalam perhimpunan Bulan Sabit Merah Palestina dan dengan beberapa rekannya, Ang membentuk Medical Aid for Palestine yang memberikan bantuan medis kepada rakyat Palestina baik di wilayah pengungsian maupun di wilayah pendudukan Israel.

“Saya tidak bisa melupakannya, pembantaian itu telah menjadi bagian dari hidup saya, karena itu saya berkeliling untuk menuturkan pengalaman saya kepada orang-orang, saya ingin dunia mengetahui kekejaman yang dilakukan oleh Israel,” tandasnya.

Ia mengungkapkan, hampir setiap hari korban yang harus ditangani secara cepat tak henti-hentinya berdatangan, bahkan sampai larut malam terutama pada saat kondisi genting.

Ang mengaku dedikasinya terhadap Palestina tidak akan pernah berhenti, apalagi saat ini sudah lebih banyak lembaga kemanusiaan dari berbagai negara yang mendukung perdamaian di Palestina dan Libanon, untuk itu dirinya berusaha minimal setahun sekali mengunjungi Palestina dan Libanon.(novel/eramuslim)


FROM BEIRUT TO JERUSALEM
SEBUAH KESAKSIAN TENTANG KEBIADABAN ISRAEL DI LEBANON DAN PALESTINA

Kamp pengungsi Sabra-Shatila. Aku sedang bertugas di kamp, baru tiba sebulan sebelumnya sebagai sukarelawan dokter bedah untuk merawat para korban selama serangan pasukan Israel di Lebanon.

Pembantaian anak-anak, wanita, orang tua dan orang-orang lemah tak bersenjata itu sungguh menyentakkanku. Aku merasa sangat gusar karena harus menemukan kebenaran tentang orang-orang yang berani dan murah hati, melalui kematian mereka. Hingga saat itu, aku tak pernah tahu bahwa para pengungsi Palestina itu ada. Sebagai seorang Kristen fundamentalis, dulu aku mendukung Israel, membenci orang-orang Arab, dan memandang PLO sebagai teroris yang harus dikutuk dan ditakuti.

Pengalamanku di Sabra-Shatila membuatku sadar bahwa orang Palestina juga manusia. Upaya pihak-pihak adikuasa yang berkonspirasi menjelek-jelekkan mereka, pupus sudah di mataku. Bagaimana mungkin mereka adalah orang jahat, jika mereka adalah korban ketidakadilan yang amat besar? Seperti orang-orang lain, aku harus menghadapi kenyataan pahit, aku harus bertobat; kebodohan dan prasangkaku telah membutakan mataku dari penderitaan bangsa Palestina.

Mereka yang selamat mendorongku untuk memberikan kesaksian di hadapan Komisi Penyelidikan Kahan bentukan pemerintah Israel. Dan, dalam perjalanan melintasi perbatasan Lebanon menuju Yerusalem, aku sadar sedang menempuh perjalanan yang diimpikan oleh para pengungsi Palestina. Tanpa disengaja, aku sedang melakukan ziarah ke tanah air mereka dan pulang ke rumah.

Lalu, pada masa Intifada yang pertama, aku bertugas di rumah sakit Al-Ahli di Gaza sebagai konsultan dokter bedah PBB dan telah merawat banyak dari mereka yang terluka. Bangunan rumah sakitku itu sering diserang dari udara oleh para tentara yang memburu para pemuda; bangsal-bangsal ibu-ibu hamil diserbu oleh tentara Israel yang bersenjata lengkap; suatu penghinaan terhadap ibu-ibu yang tengah melahirkan. Para pasien yang terbaring di meja-meja operasiku diancam. Seorang kru televisi BBC memfilmkan Kehidupan Di Bawah Pendudukan, menampilkan beberapa orang dari kami yang sedang bertugas di bawah kondisi-kondisi yang tak terperikan itu. Para juru rawat pria menghabiskan dua tahun di penjara menyusul perekaman film itu. Para tentara Israel itu membuat masa tugasku di Gaza menjadi tak tertahankan, dan perlu waktu bertahun-tahun sebelum aku dapat kembali.

(Dinukil dari buku Tears of Heaven: From Beirut to Jerusalem, karya Dr. Ang Swee Chai ,Mizan 2006.)

Siapakah Dr. Ang Swee Chai?


18 September 2002
Physician returns to Sabra and Shatila 20 years after bloody massacres
[Dokter Kembali ke Sabra dan Shatila, 20 Tahun Setelah Pembantaian Berdarah]
Reem Haddad

Liputan Khusus untuk The Daily Star



Untuk alasan yang bahkan ia sendiri tak dapat jelaskan, foto-foto rontgen itu masih tersimpan di flatnya di London. Kadang-kadang, ia mengeluarkannya dan melihat-lihatnya lagi. Salah satunya adalah foto rontgen anak 7 tahun yang ditembak 3 kali. Seluruh keluarganya dibunuh. Ia masih ingat nama anak itu: Mounir. Ada pula foto rontgen wanita korban pertama pembantaian yang datang meminta perawatan kepadanya pada hari di bulan September 1982 itu. Ia tertembak di sikunya. Sang dokter bertanya-tanya, apa yang terjadi dengan wanita itu setelah ia meninggalkan rumah sakit hari itu. Ia menduga, besar kemungkinan wanita itu sudah lama mati.

Dan sekarang, 20 tahun kemudian, sang dokter kembali menyusuri gang-gang di kamp pengungsian Sabra and Shatila. Penduduk kamp mengenal wanita ahli bedah ortopedis oriental yang mungil itu sebagai dr. Swee. Dunia lebih mengenalnya sebagai dr. Ang Swee Chai, penulis From Beirut to Jerusalem, yang merupakan kesaksiannya tentang pembantaian Sabra-Shatila. Sang dokter ada di Beirut bulan yang lalu selama seminggu untuk membantu BBC membuat laporan peringatan pembantaian itu. Program dokumenter itu berdasarkan pengalamannya di kamp, dan banyak penduduk masih mengenalinya,dan ia pun masih mengenali mereka. Seorang pria setengah baya terkaget-kaget saat mendadak distop sang dokter. Ah, rupanya kamu, sapanya kepada pria yang kebingungan itu. Kamu dulu anak muda tukang bikin onar. Ekspresi kekagetan pria itu berubah menjadi kegembiraan karena mengenali wanita itu. Dr. Swee! katanya. Sang dokter tersenyum. Ia tidak pernah lupa pasien-pasiennya. Bagaimana saya bisa melupakan Sabra dan Shatila? katanya. Saya ada di sana saat peristiwa itu terjadi.

Ironisnya, Ang, yang berasal dari Singapura tetapi sekarang tinggal di Inggris, tumbuh dengan mendukung Israel. Ia diberi tahu bahwa orang-orang Arab adalah teroris. Namun pada 1982, media Inggris menyiarkan pemboman membabi-buta Beirut oleh pesawat-pesawat Israel. Terguncang, pandangannya terhadap Israel mulai berubah. Saat itulah ia mendengar seruan internasional yang meminta sukarelawan dokter bedah ortopedis (tulang) untuk merawat korban perang di Beirut. Wanita mungil ini—tingginya hanya kurang dari 1,5 meter berhenti dari pekerjaannya di London, berpamitan kepada suaminya, dan berangkat menuju kancah perang sipil di Beirut. Begitu tiba di negeri itu, Ang bergabung dengan Palestinian Red Crescent Society (Perhimpunan Bulan Sabit Merah Palestina) dan ditugaskan di Rumah Sakit Gaza di kamp Sabra dan Shatila.

Kemudian, Ketua Palestinian Liberation Organization (PLO), Yasser Arafat, dan para pengikutnya harus dievakuasi dari negara itu. Sebuah gencatan senjata disepakati dan banyak penduduk kamp yang sebelumnya mengungsi, pulang ke kamp dan membangun kembali kehidupan mereka. Di mana-mana saya lihat anak kecil, wanita, dan orang tua memperbaiki rumah mereka, kenangnya. Ada atmosfer penuh harapan, karena mereka percaya setelah PLO pergi, Israel akan membiarkan warga Palestina hidup tenang. Saya juga mempercayainya. Atmosfer itu tidak bertahan lama. Tiga pekan kemudian, Presiden Lebanon yang baru saja terpilih, Bashir Gemayel, dibunuh.

Semua orang di kamp segera menjadi ketakutan, kata Ang. Mereka khawatir orang-orang Palestina akan disalahkan. Ketakutan mereka terbukti. Pagi hari berikutnya, 15 September, pesawat-pesawat Israel menyerbu kamp. Dari lantai atas RS Gaza, dr. Ang dapat melihat asap membubung dari berbagai tempat. Asap semakin lama semakin mendekat, katanya. Saat malam tiba, asap itu berjarak setengah kilometer di sekeliling kami. Saya dapat mendengar pemboman dari segala penjuru.

Kebanyakan pasien yang ia rawat pada hari itu terluka terkena pecahan bom. Namun, hari berikutnya, seorang wanita dibawa ke rumah sakit. Sikunya tertembak. Wanita itu keluar rumah untuk mengambil air untuk keluarganya, dan saat itulah ia ditembak. Wanita itu adalah korban pembantaian pertama dan foto rontgen wanita itu masih disimpan dr. Ang sampai sekarang. Sejak saat itu, terjadilah malapetaka, katanya.

Orang-orang yang dibawa ke rumah sakit tertembak di kepala, rahang, dada. Kebanyakan dari mereka sudah mati saat tiba di rumah sakit. Keadaan terus bertambah buruk. Para dokter berkutat dengan pasien-pasien di ruang-ruang operasi di basement, bekerja tanpa henti. Itu terus berlangsung sampai malam. Kamar mayat sudah tak mampu menampung jenazah korban.

Sampai saat itu pun, Ang dan tim dokter belum menyadari bahwa ada pembantaian sedang berlangsung. Saya hanya bertanya-tanya, Mengapa orang-orang ini berkeliaran di jalan-jalan? katanya. Saat itu, saya juga merawat bayi-bayi dan orang lanjut usia. Saya biasa membeli kopi dari orang-orang tua itu. Saya benar-benar tidak paham. Barulah kemudian ia diberi tahu bahwa milisi Kristen (saat itu sejumlah milisi Kristen adalah sekutu Israel) memasuki rumah-rumah dan membunuhi penghuninya. Sementara itu, rumah sakit kehabisan persediaan darah, makanan, dan obat-obatan. Hari berikutnya, orang-orang bersenjata memasuki rumah sakit dan memerintahkan semua orang yang memegang paspor luar negeri untuk meninggalkan tempat itu. Dipaksa meninggalkan tempat itu, para dokter digiring melalui kamp. Pemandangan saat itu masih terus menghantuinya sampai sekarang. Ada banyak orang dikumpulkan, pria, wanita, dan anak-anak yang memandang kami dengan mata penuh ketakutan, kenangnya. Mayat ada di mana-mana. Saya tersandung sesosok mayat. Dalam kengerian, ia lihat mata mayat itu telah dicungkil.

Buldoser-buldoser menghancurkan rumah-rumah rumah-rumah yang baru 3 hari yang lalu ia kunjungi untuk minum kopi bersama penghuninya. Seorang wanita berlari ke arah Ang dan menyerahkan bayinya. Milisi menodongkan senapan mereka. Wanita itu mengambil kembali bayinya. Setelah pembantaian, Ang menjelajahi kamp untuk mencari wanita dan bayinya itu. Ia tidak bisa menemukan mereka. Saya tahu mereka sudah dibunuh, katanya. Ang kemudian bersaksi di depan Komisi Kahan yang menyelidiki pembantaian itu. Komisi itu memutuskan bahwa Menteri Pertahanan Ariel Sharon (yang di kemudian hari menjadi Perdana Menteri) bertanggung jawab secara personal atas pembantaian itu dan dipaksa mundur dari jabatannya pada 1983.

Sang dokter pulang ke London, tetapi tidak bisa hidup tenang. Saya tidak bisa melupakannya, katanya. Pembantaian itu telah menjadi bagian dari hidup saya. Ia berkeliling untuk menuturkan pengalamannya kepada orang-orang. Saya ingin dunia mengetahui pembantaian itu, katanya. Saya butuh melakukannya. Saya bertanggung jawab melindungi pasien saya. tetapi saya tidak mampu. Sebagai dokter, saya telah gagal.

Pada 1984, Ang dan beberapa pekerja medis membentuk badan amal untuk membantu warga Palestina. Mereka menamakannya MAP, Medical Aid for Palestine. Mereka bertujuan membangun kembali rumah sakit-rumah sakit Palestina dan menyediakan suplai obat-obatan. Setelah dimulainya Intifada, Ang mengalihkan perhatiannya untuk membantu warga Palestina di Gaza dan Tepi Barat. Dua tahun kemudian, ia menerbitkan bukunya, From Beirut to Jerusalem. Buku itu segera meraih sukses, ribuan kopi terjual. Setahun kemudian, terbit sebuah buku dengan judul yang sama, tetapi dari penulis lain. Buku itu menyebabkan calon pembaca bingung. Penjualan buku Ang pun menurun. Saya bisa saja menuntut, tetapi saya tidak ingin melakukannya, katanya. Lebih baik saya menggunakan uang dan tenaga saya untuk membantu para pengungsi. Mereka membutuhkan orang-orang yang memperjuangkan nasib mereka.

Sumber: The Daily Star dan swaramuslim